Judul
buku : Ideologi Gerakan Pasca-Reformasi:
Gerakan-gerakan Sosial-Politik dalam Tinjuan Ideologis
Penulis : As’ad Said Ali
Halaman : xii+156
Terbit : Pertama, 2012
Penerbit : LP3ES, Jakarta
Harga : Rp. 65.000
Penulis : As’ad Said Ali
Halaman : xii+156
Terbit : Pertama, 2012
Penerbit : LP3ES, Jakarta
Harga : Rp. 65.000
Reformasi
tahun 1998 membuat bangsa Indonesia bisa bernapas lega. Rezim otoritarianisme
yang berdiri angkuh selama 32 tahun berhasil dirubuhkan. Kebebasan politik yang
diimpikan bangsa Indonesia pun akhirnya bisa tercapai. Dalam kebebasan ini,
masyarakat bebas mengartikulasikan hak-kak sosial-politiknya. Baik melalui
jalur politik formal, maupun dalam bentuk gerakan sosial. Tak ayal bila−atas
nama demokrasi−partai politik menjamur dan aneka warna gerakan sosial semakin
berkecambah.
Kendati
demikian, liberalisasi politik sebagai penanda konkret atas rezim sebelumnya
yang serba otoritarianisme nyaris menggoyahkan sendi-sendi kestabilan
sosial-politik dan keaman di negeri ini. Hal ini dapat dimengerti, sebab
konsentrasi kaum elit saat itu lebih tercurah pada ambisi untuk segera
merubuhkan rezim dan menciptakan era baru. Sementara, bagaimana kehidupan
politik dan sosial pascarezim otoritarian mesti ditata dan dikelola belum
sempat terpikirkan. Dalam artian, liberalisasi yang dilakukan miskin konsep.
Lantas, apa yang terjadi kemudian? Eforia politik pun terjadi tanpa
tertepiskan. Para elit politik semakin sibuk membentuk partai politik
(amatiran) baru. Di tengah hiruk-pikuk eforia kebebasan inilah
kekuatan-kekuatan ideologi nan sarat kepentingan−yang sebelumnya hampir
mati−kembali mendapatkan ruang sosial-politiknya.
Dalam
buku ini, Dr. As’ad Said Ali mencatat adanya lima tipologi besar ideologi
politik yang menjadi orientasi politik berbagai kelompok gerakan di Indonesia,
seiring reformasi 1998. Empat diantaranya bersumber dari pemikiran Barat, dan
satu lagi bersumber dari gagasan keagamaan (lebih banyak berasal dari agama
Islam). Kelima tipologi ideologis
itu, yakni kiri-radikal, kiri moderat, kanan-konservatif, dan Islamisme. Tentu
saja kelima tipologi ideologis itu memiliki varian masing-masing yang berbeda
bahkan saling bertentangan satu sama lain. Dan masing-masing, mempunyai varian
yang tidak sedikit jumlahnya.
Salah
satu contoh, ideologi kiri-radikal. Sebagaimana ideologi-ideologi kiri yang
meyakini bahwa kenyataan sosial tidak hanya perlu dipahami dan ditafsirkan. Hal
yang lebih penting, kenyataan sosial juga harus dirubah. Tesis inilah yang
menjelaskan mengapa penganut ideologi kiri terus berupaya menggalang gerakan
sosial-politik dengan orientasi radikal. Ideologi kiri yang mendapat asupan
teoritis dari Marxisme ini memiliki banyak varian. Bahkan pada jenis ideologi
kiri-radikal masih terdapat sejumlah varian. Untuk di Indonesia, ada dua jenis
varian kiri radikal yang mengemuka; yaitu Varian-varian Anarkis Marxisme
(Leninis, Maois, Anarko-sindikalisme) dan Populisme Kiri. (hlm. 16)
Menariknya,
As’ad tidak hanya mampu mengurai teori saja, ia juga mampu menyebutkan data
gerakan radikal anarkis di Indonesia. Di antaranya adalah Kolektif Kontra
Kultura (Bandung) dan Anti Fascitst and Racist Action (Jakarta) yang
berafiliasi dengan sebuah organisasi antirasis skala internasional bernama Anti
Racitst Action (ARA). Taring Padi di Yogyakarta, sebuah kolektif yang terdiri
dari para seniman anarkis yang membentuk pula jaringan berskala nasional
bernama Jaringan Anti Fasis Nusantara (JAFNus), Jaringan Autonomous Kota
(Salatiga), Kolektif Bunga (Surabaya) dan lain sebagainya. Awal tahun 2007,
jaringan-jaringan ini sepakat untuk lebih membentuk Jaringan Anti-Otoritarian,
sebagai upaya untuk membangun solidaritas untuk menyambut MayDay tahun 2007 dan
bergabung dengan Aliansi Buruh Menggugat (ABM). (hlm 22-23)
Buku
ini patut dijadikan bahan referensi yang mengupas peta ideologi gerakan pasca
Reformasi, mengingat kekayaan data yang penulis suguhkan dengan kuat dan
lengkap. Meski sayang, dalam buku ini penulis tidak menyertakan alasan mengapa
hanya lima tipologi ideologi politik di atas yang ia catat, ataukah barangkali
nasionalisme (memang) tidak lagi menjadi ideologi gerakan pasca Reformasi?
Lebih dari itu, keseriusan penulis dalam memetakan ideologi gerakan
sosial-politik pasca Reformasi menjadi penting untuk menjaga keutuhan Pancasila
dari serangan beberapa varian ideologi di atas, yang memang secara
normatif-ideologis berbeda dengan Pancasila. Bagaimanapun kita bertanggung
jawab menjaga keutuhan Pancasila sebagai satu-satunya dasar negara Indonesia.
Selamat membaca!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar