Kamis, 29 Mei 2014

Ideologi Gerakan Pasca-Reformasi: Gerakan-gerakan Sosial-Politik dalam Tinjuan Ideologis

Judul buku              : Ideologi Gerakan Pasca-Reformasi: Gerakan-gerakan Sosial-Politik dalam Tinjuan Ideologis
Penulis                    : As’ad Said Ali
Halaman                  : xii+156
Terbit                       : Pertama, 2012
Penerbit                   : LP3ES, Jakarta
Harga                      : Rp. 65.000

Reformasi tahun 1998 membuat bangsa Indonesia bisa bernapas lega. Rezim otoritarianisme yang berdiri angkuh selama 32 tahun berhasil dirubuhkan. Kebebasan politik yang diimpikan bangsa Indonesia pun akhirnya bisa tercapai. Dalam kebebasan ini, masyarakat bebas mengartikulasikan hak-kak sosial-politiknya. Baik melalui jalur politik formal, maupun dalam bentuk gerakan sosial. Tak ayal bila−atas nama demokrasi−partai politik menjamur dan aneka warna gerakan sosial semakin berkecambah.
Kendati demikian, liberalisasi politik sebagai penanda konkret atas rezim sebelumnya yang serba otoritarianisme nyaris menggoyahkan sendi-sendi kestabilan sosial-politik dan keaman di negeri ini. Hal ini dapat dimengerti, sebab konsentrasi kaum elit saat itu lebih tercurah pada ambisi untuk segera merubuhkan rezim dan menciptakan era baru. Sementara, bagaimana kehidupan politik dan sosial pascarezim otoritarian mesti ditata dan dikelola belum sempat terpikirkan. Dalam artian, liberalisasi yang dilakukan miskin konsep. Lantas, apa yang terjadi kemudian? Eforia politik pun terjadi tanpa tertepiskan. Para elit politik semakin sibuk membentuk partai politik (amatiran) baru. Di tengah hiruk-pikuk eforia kebebasan inilah kekuatan-kekuatan ideologi nan sarat kepentingan−yang sebelumnya hampir mati−kembali mendapatkan ruang sosial-politiknya.
Dalam buku ini, Dr. As’ad Said Ali mencatat adanya lima tipologi besar ideologi politik yang menjadi orientasi politik berbagai kelompok gerakan di Indonesia, seiring reformasi 1998. Empat diantaranya bersumber dari pemikiran Barat, dan satu lagi bersumber dari gagasan keagamaan (lebih banyak berasal dari agama Islam). Kelima tipologi ideologis itu, yakni kiri-radikal, kiri moderat, kanan-konservatif, dan Islamisme. Tentu saja kelima tipologi ideologis itu memiliki varian masing-masing yang berbeda bahkan saling bertentangan satu sama lain. Dan masing-masing, mempunyai varian yang tidak sedikit jumlahnya.
Salah satu contoh, ideologi kiri-radikal. Sebagaimana ideologi-ideologi kiri yang meyakini bahwa kenyataan sosial tidak hanya perlu dipahami dan ditafsirkan. Hal yang lebih penting, kenyataan sosial juga harus dirubah. Tesis inilah yang menjelaskan mengapa penganut ideologi kiri terus berupaya menggalang gerakan sosial-politik dengan orientasi radikal. Ideologi kiri yang mendapat asupan teoritis dari Marxisme ini memiliki banyak varian. Bahkan pada jenis ideologi kiri-radikal masih terdapat sejumlah varian. Untuk di Indonesia, ada dua jenis varian kiri radikal yang mengemuka; yaitu Varian-varian Anarkis Marxisme (Leninis, Maois, Anarko-sindikalisme) dan Populisme Kiri. (hlm. 16)
Menariknya, As’ad tidak hanya mampu mengurai teori saja, ia juga mampu menyebutkan data gerakan radikal anarkis di Indonesia. Di antaranya adalah Kolektif Kontra Kultura (Bandung) dan Anti Fascitst and Racist Action (Jakarta) yang berafiliasi dengan sebuah organisasi antirasis skala internasional bernama Anti Racitst Action (ARA). Taring Padi di Yogyakarta, sebuah kolektif yang terdiri dari para seniman anarkis yang membentuk pula jaringan berskala nasional bernama Jaringan Anti Fasis Nusantara (JAFNus), Jaringan Autonomous Kota (Salatiga), Kolektif Bunga (Surabaya) dan lain sebagainya. Awal tahun 2007, jaringan-jaringan ini sepakat untuk lebih membentuk Jaringan Anti-Otoritarian, sebagai upaya untuk membangun solidaritas untuk menyambut MayDay tahun 2007 dan bergabung dengan Aliansi Buruh Menggugat (ABM). (hlm 22-23)
Buku ini patut dijadikan bahan referensi yang mengupas peta ideologi gerakan pasca Reformasi, mengingat kekayaan data yang penulis suguhkan dengan kuat dan lengkap. Meski sayang, dalam buku ini penulis tidak menyertakan alasan mengapa hanya lima tipologi ideologi politik di atas yang ia catat, ataukah barangkali nasionalisme (memang) tidak lagi menjadi ideologi gerakan pasca Reformasi? Lebih dari itu, keseriusan penulis dalam memetakan ideologi gerakan sosial-politik pasca Reformasi menjadi penting untuk menjaga keutuhan Pancasila dari serangan beberapa varian ideologi di atas, yang memang secara normatif-ideologis berbeda dengan Pancasila. Bagaimanapun kita bertanggung jawab menjaga keutuhan Pancasila sebagai satu-satunya dasar negara Indonesia. Selamat membaca!

Tidak ada komentar: